Thursday 5 March 2009

Mencari kado yang pas untuk ITB

Oleh Herman Hermit

(telah dimuat di Tribun Jabar edisi Senin 9 Maret 2009)

“Elok rupanya pohon belimbing, tumbuh dekat pohon mangga. Elok rupanya berbini sumbing, walau ia marah tampak ketawa juga.”
Demikian bunyi sebuah pantun jenaka yang saya hapal betul sejak saya duduk di SD. Ternyata, (maaf) berbibir sumbing saja punya faedah filosofis. Bunyi kata kunci “Bini” itulah, yang menghubungkan bunyi pantun itu dengan otak ceriwis saya tentang ITB (Institut Teknologi Bandung). Dalam guyonan di warung-warung kopi, ITB sering dipelesetan oleh para alumninya sendiri sebagai singkatan dari (maaf) “Insinyur Takut Bini” kalau bukan “Institut Teknologi Berkuda” (hanya karena Jalan Ganesha dan sekitarnya sering dijadikan mainan anak-anak menunggang kuda). Tapi juga, ITB tak jarang dipelesetkan oleh sementara alumninya di facebook.com menjadi MIT, yang sejatinya adalah Massachussetts Institute of Technology. Tapi yang dimaksud pelesetan adalah “mBandung Institute of Technology”. Maksud si pemeleset supaya lebih bergengsi begitu, lho. Maklum, MIT hampir selalu masuk sebagai 10 universitas terbaik dunia, sedangkan ITB (atau universitas lainnya di negeri kita) rasa-rasanya belum pernah sekalipun masuk 100 universitas terbaik dunia.
Alhasil, sebetulnya ITB itu seperti Persib, hanya jago kanndang, yang tidak pernah menjadi klub papan atas dunia, bahkan di level Asia. Maklum, kalau MIT di dunia perguruan tinggi atau Manchester United di dunia persepakbolaan itu sudah cukup umur dan karenanya punya tradisi kuat need for achievement alias berorientasi prestasi pada skala global, sedangkan ITB atau Persib masih mencerminkan “keindonesiaan” asli yaitu need for basic needs alias masih berorientasi pemenuhan kebutuhan dasar. Beda dengan di Malysia atau India, walau perguruan-perguruan tinggi di sana juga relatif belum cukup umur, tetapi kalau saya tidak salah ingat, beberapa di antaranya sudah ada yang masuk sebagai 100 universitas terbaik dunia. ITB itu hanya menang megah bangunannya saja dari perguruan-perguruan tinggi di Malysia atau India.
Lalu apa urusannya dengan kado untuk ulang tahun emas ITB yang akan diisi dengan berbagai kado dan acara berfaedah pula pada tanggal 2-7 Maret 2009 ini di kampusnya? Yang jelas “kado” dari Pa Aburizal Bakrie dan Pa Arifin Panigoro saja sudah bernilai Rp 50 Milyar! Soal acara, untunglah acara pemberian gelar Doktor Kehormatan (Dr Hc) ITB kepada Pa SBY dikeluarkan dari agenda perayaan ulang tahun emas ITB (usia 50 tahun), karena konon Pa SBY kurang enak hati bila itu diterima sebelum acara Pilpres 6 Juli nanti. Lagian, saya sebagai ulumninya pun kok risi, jangan-jangan ITB benar-benar wajar untuk dipelesetkan sebagai “Institut Teknologi Berkuda”.
Kembali ke soal kado. Saya kira, salah satu kado yang pas untuk kita berikan kepada ITB saat ulang tahun emasnya adalah ramuan dari pujian dan kritikan secara seimbang. Pertama, pujian patut diberikan kepada ITB yang selalu masuk 5 perguruan tinggi terbaik di Indonesia. ITB pula yang terbanyak menghasilkan alumninya yang jadi Presiden RI, yakni Bung Karno dan Pak Habibie. ITB juga satu-satunya Institut Teknologi di Indonesia yang berani buka fakultas/sekolah bisnis dan manajemen (SBM). Kalau di Amerika Serikat sih sudah lama yaitu MIT. Terus, ITB juga yang konon alumninya paling banyak diserap di pasar kerja Malaysia dan Negara-negara di Timur Tengah bila dibandingkan dengan alumni perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Dan seterusnya.
Kedua, soal kritik membangun kita. ITB sekarang terkenal dengan mahalnya uang bangunan yang dikenakan kepada mahasiswa baru yang diterima melalui seleksi khusus bernama Ujian Saringan Masuk (USM) ITB. Untuk mahasiswa baru fakultas/sekolah bisnis dan manajemen (SBM), misalnya, konon Rp 60 juta rupiah. Tidak mengherankan kalau kini ITB yang hanya menyisakan sekitar 30% kuota jumlah mahasiswa barunya melalui jalur seleksi regular (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri/SNMPTN), itu dirasakan tidak lagi pro rakyat kebanyakan alias kurang merakyat. Dan kritik ini mungkin akan lebih meruncing sebentar lagi saat ITB berubah status dari BHMN (Badan Hukum Milik Negara sejak tahun 2000) menjadi PT BHPN (Badan Hukum Pendidikan Negeri berdasarkan UU No. 9 Tahun 2009). Tapi bagaimana bisa kita memimpikan ITB seperti ITB dulu yang murah-meriah?
Jawabannya adalah, sangat “bisa” tapi dalam konteks yang agak berbeda! Mengingat persepsi masyarakat bahwa ITB sekarang itu mahal atau tak lagi berpihak wong cilik, itu tentulah yang dimaksud adalah pendidikan strata satu (S1) dan bukan program pascasarjana. Dan bahwa kita yang meributkan mahalnya biaya pendidikan d ITB sekarang tentunya adalah kita sebagai orang tua yang belum tergolong bukan “kelas menengah” secara ekonomi. Sebab biaya pendidikan program pascasarjana sih sangat wajar bila mahal, dan segmen pasarnya juga sudah pasti masyarakat “kelas menengah atas” kalau bukan masyarakat “kelas bawah” yang memperoleh beasiswa penuh dari sponsor seperti yang saya alami dulu dua kali.
Maka solusinya, dan sekaligus merupakan berkah dari banjir kritikan ini adalah, ITB (juga UI, UGM, IPB dan Undip) sebaiknya tidak lagi memproduksi sarjana alias program Strata Satu (S1), melainkan cukup hanya memproduksi master dan doktor alias program pascasarjana. Sedangkan penyelenggaraan pendidikan S1 sebaiknya diikhlaskan saja kepada perguruan-perguruan tinggi (maaf) “kelas dua”. Demikian seterusnya, sebaiknya program Diploma Tiga (D3) tidak perlu dieksploitasi secara komersial oleh peruruan-perguruan tinggi “kelas dua”, melainkan selayaknya diikhlaskan saja untuk diberikan sebagai garapan perguruan-perguruan tinggi “kelas tiga”. Dalam hal ini saya tidak membedakan PTN dan PTS.
Hikmah yang paling mungkin dari solusi tersebut adalah ITB dan keempat PT yang menurut saya masuk sebagai PT “kelas satu” tadi, bisa mengejar cita-cita terluhur dari dunia pendidikan tinggi yaitu sebagai Research University atau sebagai Center of Excellence, yang mengutamakan produksi master dan doctor serta aktivitas riset bagi para civitas akademiknya. Bukankah sejak tahun 1970-an ITB dan UI, misalnya, telah mencanangkan diri menjadi Research University atau sebagai Center of Excellence? Untuk melanjutkan cita-citanya etrsebut, paling tidak ITB harus sudah berani untuk semakin mengurangi porsi penyelenggaraan pendidikan program S1, sebaliknya porsi penyelenggaraan pascasarjananya harus semakin menjadi dominan sebelum akhirnya hanya memproduksi pascasarjana.
Hikmah lainnya dari ITB (dan keempat PT lainnya yang “kelas satu” itu) hanya menggarap segmen pasar pendidikan tinggi pascasarjana adalah membantu terciptanya persaingan sehat antarperguruan tinggi dalam meraih mahasiswa baru (dan uangnya). Lagian, ITB (dan keempat PTN lainnya itu) menurut hemat saya tidak akan bisa lagi “mengefisienkan biaya produksi” program S1 dengan cara tidak mengomersialkan program S1, karena konsumsi ITB (dan keempat PT lainnya itu) sudah terlalu tinggi, konon rencana anggaran biaya tahunan ITB (atau empat PT lainnya itu) sudah mencapai di atas 500 milyar rupiah.
Jadi, sebaiknya salah satu bentuk kado yang pas untuk kita berikan kepada ITB kali ini adalah mengingatkan kembali ITB untuk need for achievement (pengutamaan motif berprestasi) menjadi Universitas Riset atau Center of Excellence di Indonesia, yang masih sangat membutuhkan baik kuantitas maupun kualitas periset.***

Di antara dua Hari Kemenangan

Oleh Herman Hermit

Salah satu perbuatan pengulangan yang tak pernah membosankan dalam masyarakat kita, khususnya kaum Muslimnya adalah berlebaran. Produk massal (mass production) yang meramu aspek agama Islam dan aspek budaya ini sungguh mengagumkan. Saya telah gagal meramal bahwa tradisi berlebaran akan lekang dimakan waktu hingga tinggal kenangan pada era superkonduktor sekarang ini. Di belakang kemelesetan ramalan saya tersebut harus saya akui ada faktor abadi yaitu preferensi kita mengenai segala hal yang merupakan kombinasi dari hal-hal yang rasional (logis) dan yang irasional (tidak logis). Yang rasionalnya misalkan motif bersilaturahmi dengan sanak keluarga, kerabat dan sekaligus reunian (hal bihalal) dengan teman-teman di kampung asal atau di komunitas lama. Yang tidak rasionalnya adalah kebiasaan kita untuk berupaya ekstra mati-matian mencari duit (halal ataupun tidak halal) pada bulan yang (seharusnya) suci Ramadhan untuk bisa merayakan lebaran. Ringkasnya, perilaku homo homini socius (sosial) dikombinasi perbuatan homo homini lupus (kanibal), menjadi pas untuk sebuah realitas manusia Indonesia yang semakin modern yang meskipun bertolak belakang dengan (katanya) fitrah manusia itu suci (fitri). Kombinasi malaikat dan setan agaknya pas untuk DNA manusia-manusia kita pada umumnya.
DNA malaikat-setan yang pas secara realitas untuk kita itulah agaknya yang juga membuat kita enggan untuk melepas tema Hari Kemenangan untuk Lebaran, dan menggantinya dengan misalkan Hari Kekalahan. Slogan kembali ke fitrah (kembali ke keseucian) pada setiap hari lebaran, menjadi pas untuk menyangkal segala keraguan mengenai perilaku kita yang kombinasian malaikat-setan. Paling tidak masih ada Lebaran-lebaran lain setelah lebaran sekarang. Atau hitung-hitung menjadi malaikat sehari saja. Nah, di antara dua Hari Kemenangan (lebaran) ini naluri ganas manusia menjadi business as usual alias rutinitas, lebih dari sekadar berburu rezeki yang tidak halal seperti pada bulan Ramadhan. Homo homini lupus akan jauh lebih berjaya ketimbang homo homini socius kita. Ekuilibrium atau kesetimbangan malaikat-setan dalam diri kita seperti diperlihatkan pada bulan Ramadhan berorientasi Lebaran menjadi ditinggalkan selepas Hari Kemenangan, menjadi hari-hari Menang-Kalah yang mengisi waktu di antara dua Lebaran.
Hari-hari Menang-Kalah kini kita masuki kembali. Pendulum telah meninggalkan titik kesetimbangan/ekuilibrium. Kita kembali menempuh arah yang lebih melenceng dari arah Tuhan yang sebenarnya. Kita di sini adalah umat Islam berorientasi Lebaran, tentu saja di Indonesia. Topeng telah kita tinggalkan, wajah asli kita kenakan kembali: naluri ganas yang mendominasi naluri shaleh. Tauhid sosial sebagaimana anjuran Amien Rais kita pertanyakan kembali. Yang irasional kembali mendominasi yang rasional. Tipuan takaran dalam urusan bisnis kembali menjadi tidak proporsional lagi. Profesionalitas kembali menjadi nomor tiga, sebab yang penting adalah bagaimana kita bisa mempertahankan tingkat konsumsi sebelumnya. Jangan sampai pada lebaran mendatang tampak lebih melarat ketimbang lebaran kemarin. Itulah sebabnya mungkin Ketua KPK menekankan pentingnya aspek kultural seperti pendidikan dan pembelajaran (termasuk penekanan pada terbitnya rasa takut malu sebelum melakukan korupsi). Sebab korupsi dalam masyarakat kita memang telah menjadi keseharian dan menjadi darah dan daging (internalized) yang mencuci otak kita, bayi ataupun manula. KPK tidak ikut-ikutan korupsi saja sudah bagus, bahkan menajadi terasa janggal atau irasional (tidak logis) dalam realitas kita saat ini. Masak iya pagar tidak tertarik dengan tanaman yang harus dijaganya. Sebab kultur korup kita adalah siapa menjajah siapa, siapa memangsa siapa.
Demikian skeptiskah kita? Demikian permisifkah budaya kita saat ini terhadap segala penyimpangan perilaku (seperti korupsi) kita? Menurut para pengusaha, terutama para konsultan dan kontarktor serta suplier barang/jasa pemerintahan sih pasti “Ya” jawabannya. Bagi Ustad yang lebih suka mengarahkan tujuan ceramahnya ke komunitas basah, juga pasti menjawab “Ya”. Termasuk para Kepala Daerah yang mengongkosi Tim Suksesnya dari sponsor dan mengandalkan balik-utang (return on investment) dari memonetasi/menguangkan kekuasaannya. Utang mesti dibayar Utang, bukan angin, demikian prinsip sponsor. Rantai nilai tambah utang (debt value chain) inilah yang semakin mengembangkan budaya korup kita. Bukan hanya pejabat publik, tapi juga pejabat komunitas (instutusi informal).
Kembali kepada realitas, setelah wajah kita tertutupi kedok selama bulan Ramadhan berorientasi lebaran itu. Realitas yang mampu mengubah yang irasional menjadi rasional dan rasional menjadi irasional. Realitas yang merobek-robek titik kesetimbangan perilaku malaikat-setan. Realitas kita yang menjadikan bukan hanya harga energi dan pangan menjadi mahal atau kemahalan, tetapi juga realitas yang menjadikan pendidikan menjadi sangat mahal, rasa aman menjadi barang yang terlampau mewah untuk diimpikan. Realitas yang menjungkirkan makna reformasi oleh slogan reformasi itu sendiri. Demokrasi yang kemahalan ongkos. Demokrasi yang dibangun di atas modal korupsi, tak akan jauh membuahkan korupsi lagi. LSM yang menjadi Liga Super Menyimpang, atau NGO yang menjadi Neo Government Organization atas nama gerakan partisipasi aktif masyarakat (bottom up).
Di antara dua kesulitan ada kemudahan, atau di antara dua kemudahan mesti ada kesulitan. Demikian pula di antara dua Lebaran. Pelajaran moral dari lebaran kemarin, tak beda dengan pelajaran moral dari lebaran-lebaran jauh sebelumnya, dan tak akan jauh beda dengan ajaran moral lebaran-lebaran yang akan datang lagi: menghalalkan segala cara cari duit. Akar persoalannya memang ada di Lebaran yang dijadikan orientasi bulan puasa oleh kita. Namun kita tidak berdaya mengubah budaya lebaran kita: muara kerakusan yang menerbitkan kerakusan-kerakusan baru. Atau konsep kita mengenai Hari Kemenangan atau Fitrah Manusia harus kita rubah menjadi kontemporer: homo homini lupus!
Kembali ke realitas. Realitas di mana sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi negeri menajadi lebih mahal ketimbang sekolah swasta seperti Muhammadiyah atau Katolik. Realitas di mana pejabat publik di pucuk kekuasaan tak lagi malu karena pendidikan dan minyak tanah menjadi kemahalan dan mencekik para manusia marginal secara ekonomi seperti petani gurem, nelayan, buruh pabrik dan PNS rendahan yang mayoritas itu. Aneh bin ajaib kalau golput kita masih di bawah 50% pada setiap pesta demokrasi seperti Pilkada atau Pemilu Legislatif. Realitas yang melupakan tagihan-tagihan kita kepada janji-janji politikus yang sekarang jadi pejabat publik atau wakil rakyat. Coba andaikan tidak ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), siapa yang berani menyentuh naluri ganas wakil-wakil kita di DPR/DPRD dan para pemimpin? Realitas yang menyulap identitas politikus dari pintar/cerdas/berintegritas menjadi “keledai tidak masalah asalkan populer atau berduit”. Realitas yang semakin menegaskan bagaimana perguruan-perguruan tinggi negeri setengah mewajibkan Rektor dan dosen-dosennya agresif cari proyek dan bayar royaltinya ke kas perguruan tinggi (untuk THR Lebaran mendatang?)
Kembali ke realitas keseharian kita. Realitas yang mengakui kepemudaan orang-orang yang sudah berusia di atas 30-an melalui lembaga-lembaga kepemudaan (KNPI dst). Realitas di mana menurut rumus umum orang sudah bau tanah (di atas 56 tahun) malah lebih bernafsu nyalon caleg, bupati, walkot, gubernur dan presiden hanya karena punya duit dan motif korupsi. Yang tidak punya motif korupsi pastilah enggan mencalonkan diri sendiri yang mengharuskan membayar tim sukses dan konsultan rekayasa performance art. Realitas di mana peran Antagonis seperti menjadi anggota komisi-komisian dan institusi-instutusi penegak hukum yang bertugaskan dewa pengawas atau dewa penegak keadilan menjadi lebih disukai daripada sebelumnya. Ataukah karena memang lowongan kerja menjadi semakin langka? Dalam budaya dan semangat berlebaran kita, sesungguhnya masih bersemayam kuat motif dendam sosial terhadap penjajah masa lalu. Oleh karena itu rektor dan dosen yang bisa menjajah mahasiswalah yang akan memenangkan Hari-hari Kemenangan. Pejabat-pejabat publik dan wakil-wakil rakyat yang berkarakter penjajahlah yang akan memenangkan peperangan kultural dan sosiologi di negaeri ini. Buktinya, panitia-panitia pembangunan mesjid kita pun lebih menyukai para koruptor/penjajah sebagai alamat proposal permohonan sumbangan biaya, karena peluang punya duit mereka lebih besar ketimbang orang-orang biasa yang pantasnya dijajah/dikorup.
Kembali ke realitas setelah Lebaran. Di mana dari Hari Kemenangan menuju ke Hari Kemenangan berikutnya, baik pihak yang menjajah maupun pihak yang dijajah sama-sama merasa nikmat dan menang dengan budaya penjajahan/korup. Realitas di mana kemiskinan mesti dipelihara, pengemis jalanan mesti dikembangbiakkan, pendidikan dan rasa aman yang mesti dipermahal, tata ruang wilayah/kawasan menjadi “tararuang”-nya para spekulan investasi dan makelar perizinan, dan tak lupa urusan pertanahan/keagrariaan pun menjadi urusan nego layaknya jual-beli barang bekas. Semua menjadi kita halalkan setelah acara Halal Bihalal di setiap Hari Kemenangan. Oalah, nikmatnya kita punya budaya lebaran, kembali ke fitrah ataukah memang realitas? Kita merasa menang terus walaupun sebetulnya semakin kalah. Selamat Hari Lebaran, Para pemimpin dan wakil rakyat semakin terjamin, serta rakyat semakin dipastikan tercekik harga demokrasi, energi, pangan, dan pendidikan yang kemahalan dalam kemasan Hari-hari Kemenangan.***

Tuesday 3 February 2009

Rumah Grandfa....

(by Mbah Herman Hermit)

Masa depan serasa telah tiba hari kemarin. Di sini. Di beranda rumah. Di atas anak bukit Bagolo. Berhalaman luas hijau melambai kebun kelapa. Berpagar keliling panjang pantai Karapyak-Pangandaran. Nama-nama Tuhanku semakin indah dan nyaman di hati. Nama-nama bojo, anak, mantu dan cucu-cucuku menjelma sebuah kado dari Sang Maha Maestro Seni. Nama-nama sahabat menjelma malaikat-malaikat kecil menyentuh . Kami yang tak henti-hentinya menebar senyum dan berbagi salam. Bersama minum teh hangat seraya menyaksikan persahabatan abadi antara matahari yang menua, rembulan muda, dan buih-buih putih ombak laut yang berkejaran bagaikan kami sedang melukis langit jingga senja dari beranda belakang rumah.

Pesan sponsor:
"Para senior juga masih jagoan berburu jaguar dan rezeki. Nggak bakalan kalah sama anak muda yang satu ini.....he....he....he...."